:: Kumpulan Literatur Perkuliahan ::

  • Hermeunetika

    Sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana untuk menafsirkan naskah kuno ataupun kitab - kitab suci dengan metode pendekatan sosiologi...

    Read More
  • Perang Salib

    Perang Salib merupakan bentuk perlawanan dari kaum kristen daratan Eropa terhadap kaum muslimin yang di latarbelakangi banyak aspek dalam hal ini erat kaitanya dengan serangan yang di lakukan oleh bangsa Mongol...

    Read More
  • Integrasi Agama dan Sains

    Integrasi Agama dan Sains Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat....

    Read More

Sabtu, 03 Oktober 2015

Integrasi Agama dan Sains


Integrasi Agama & Sains

Assalamu'alaikum good people, puji syukur kehadirat Tuhan, karena pada kesempatan ini kami bisa kembali berbagi artikel pengetahuan. untuk kali ini saya akan membahas tentang Integrasi Agama & Sains (IAS) yang mana pada era yang rawan akan perselisihan tentunya dalam keabsahan SAINS menurut AGAMA ataupun sebaliknya,untuk itu kami mencoba mengurai permasalahan tersebut melalui artikel ini yang mana kami mengangkat tiga tokoh yang membahas teori Integrasi.
So...let's check it out!!!!

       Sebelum mengarah ke teori kedua tokoh integrasi, terlebih dahulu mengetahui secara umum pengertia dari Integrasi Agama dan Sains 
Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat. Dalam buku Intimations of Reality, Peacock mengambarkan sains dan agama sebagai suatu entitas yang memiliki persamaan dan perbedaan, dan relasi diantara keduanya terjadi hanya dalam tataran intelektual. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa manusia pada saat ini sedang menjalani hidupnya dalam konteks sains. Artinya, segala pola pikir dan tingkah laku manusia dalam hidupnya telah dikuasi oleh cara pandang sain terhadap dunia.[1]
Agama, karena sifatnya yang sangat mendasar,jelas tidak seharusnya didekati secara ilmiah. Sebab justru dari agamalah nilai etika masyarakat manusia dikembangkan. Bukan sebaliknya. Sedang asumsi dasar ilmiah,jelas juga tidak boleh melanggar nilai-nilai etis yang ada.[2]
Tidak semua agama merasakan perlunya ilmu agama. Sebab,setiap agama mempunyai sifat maupun ajaran pokoknya, yang perlu dipegang teguh terutama oleh para rokhaniawannya.
Namun perkembangan zaman menuntut analisis maupun fatwa yang diharapkan sejalan dengan wawasan para ilmuwan. Karena itu selalu diperlukan pendekatan dari pihak ilmuwan kepada rokhaniawan. Sebab, buat masyarakat modern,ilmuwan dan rokhaniawan merupakan tokoh-tokoh yang sangat mempengaruhi tata nilai peradaban masyarakat umum.
Ya.. kurang lebihnya seperti itu lah so next ke materi selanjutnya, yaitu bagaimanasih teori integrasi agama dan sains yang di angkat oleh ketiga tokoh ini Ian G. Barbour, John F. Haught, & Mehdi Golshani

                1.  Menurut Ian G. Barbour

Dalam kutipan Wahyu Nugroho, Gregory R. Peterson mencatat beberapa lembaga, penerbitan, seminar dan konferensi yang diidentifikasi sebagai upaya membangun model hubungan antara agama dan sains yang ideal dan ramai di pasaran, seperti tulisan Ian G. Barbour lewat karyanya, Religion in an Age of Science (1990), Nacey Murphy, Theology in the Age of Scientific.[3]
Di Indonesia, kajian dan pandangan tentang Integrasi Sains dan Islam dalam berbagai interdisiplin keilmuan masih marak dibicarakan para tokoh pendidikan. Oleh karena demikian, maka Reasoning (1990), Philip Hefner, The Human Factor (1993), Arthur Peacock, Theology for a Scientific Age  (1993), dan lainnya.[berbagai universitas mencoba memberikan perhatian khusus pada bidang kajian integrasi sains dan Islam ini. Salah satunya Universitas Brawijaya Malang telah membuka Program Studi Magister Kajian Sains dan Islam (INSANI), dimana visi utamanya adalah menjadi  tempat  kajian  interdisiplin  saintifik-islami,  serta  pusat  informasi tentang kajian integrasi sains dan Islam yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Universitas Islam Negeri  Maulana Malik Ibrahim Malang juga telah membentuk sebuah forum yang mengkaji tentang model pendidikan integratif dan model riset yang menintegrasikan sains dan Islam.
Ian G. Barbour selaku tokoh pengkaji hubungan sains dan agama telah memetakan hubungan keduanya dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia juga berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama terhadap disiplin-disiplin ilmiah tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
a.       Konflik
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah dua hal yang tidak sekedar berbeda tapi sepenuhnya bertentangan. Karena itu, seseorang dalam waktu bersamaan tidak mungkin dapat mendukung teori sains dan memegang keyakinan agama, karena agama tidak bisa membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas (straight forword), sedang sains bias dikata mampu membuktikan kepercayaan dan pandangannya secara jelas.
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke19 melalui dua buku berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A. D. White.[4]
Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Adapun alasan utama para pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:
a.       Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b.       Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara   dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.[5]
c.        Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633.[6]
Sementara disisi lain, sebahagian saintis berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.[7]
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan klenik, sedangkan agama dapat memurnikan sains dari keberhalaan dan keyakinan mutlak yang keliru. Dengan keduanya lah (Agama dan Sains) kita mendapatkan pandangan yang lebih luas dalam membangun keilmuan masa dewasa ini.[8]
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.
b.       Independensi
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains memiliki persoalan, wilayah dan metode yang berbeda, dan masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga tidak perlu ada hubungan, kerjasama atau konflik antara keduanya.[9]
Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dansains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini.[10]Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup  nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut pandangan independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey.
Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan pengikutnya, menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni menurut mereka tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.[11]
Ian G. Barbour berkomentar bahwa jika sains dan agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi hal tersebut juga berefek pada memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Melainkan kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.[12]

c.     Dialog
Model ini bermaksud mencari persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara agama dan sains, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.[13]
Ian G. Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.[14]
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.[15]
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu pengetahuan, cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda, secara tidak langsung hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik dan indenpendensi. Pada pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat murni dan objektif sebagaimana biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
d.       Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah masalah yang dianggap bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi sains adalah memberikan konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta.[16]
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a.       Natural Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah Swt. semata.
b.       Theology Of Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology of Nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology, Dalam theology  of nature, ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi ia juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.
c.        Sintesis Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan agama memberikan kontribusi kea rah pandangan  dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif.[17]
Mencermati pandangan integrasi Sains dan agama akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al Quran tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail organisme tersebut.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.[18]
       2. Menurut John F. Haught

Ketika Haught menyatakan bahwa agama mendukung sains dengan pola konfirmasinya, maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang mendasari itu semua? Bangunan apakah yang bisa menjustifikasi bahwa sains mempunyai kaitan yang erat dengan agama ? Dalam pandangan Haught sains tidak bisa memenuhi dirinya sendiri (self sufficient) dalam melakukan upaya-upaya ilmiah. Sains selalu merujuk atau mengakar pada keimanan (faith) :
“Science, to be more specific, cannot even get off the ground with out rooting itself in a kind of a priori “faith” that the universe is rationally ordered totally of things”[19]

Oleh karena itu sains tidak bisa berdiri sendiri, namun ia bergantung pada entitas yang sifatnya permanen tersebut. Haught mendefinisikan nilai permanen tersebut sebagai sumber inspirasi yang akhirnya menghidupkan dan mengembangkan lebih jauh eksplorasi ilmiah. Haught membagi pola relasi sains dan agama dalam empat bentuk : konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. [20]
a.       Konfilik
Relasi pertama menempatkan sains dan agama sebagai dua entitas yang berseberangan dari berbagai sudut, baik secara mauatan (content), historis, maupun metodologis. Dalam pola relasi ini terjadi berjumpaan antara aliran skeptis ilmiah (scientific skeptics) sebagai kekuatan yang dengan keras menegaskan tidak diperlukannya lagi penjelasan penjelasan agama dengan kelompok literal (Biblical literalist) yang memahami kitab suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Perjumpaan dua kubu yang saling menegaskan tersebut memunculkan konflik yang tak kesudahan. [21]
b.       Kontras
Dalam relasi kontras, Haught menyarankan untuk membuat suatu batasan yang jelas antara sains dan agama sehingga tidak terjadi konflik. Batasan ini dimaksudkan sebagai penjelas bahwa masing-masing mempunyai wilayah yang berbeda, sehingga tidak boleh menjustifikasi agama, misalnya, dengan kategori-kategori yang dimiliki sains. Pola relasi kontras ini penting karena seringkali konflik muncul ketika terjadi „peleburan (conflation), yakni runtuhnya perbedaan sains dan agama yang berakibat pada hilangnya unsur-unsur yang membedakan keduanya. Tentu saja „peleburan (conflation) ini terjadi, baik pada agama maupun sains. Kisah termartirkannya Galileo adalah kesalahan dalam mengidentifikasi wilayah agama yang dipaksakan pada sains.[22]
c.        Kontak
Pola berikutnya adalah kontak, dengan relasi ini agama dan sains diarahkan untuk saling berkomunikasi tanpa menghilangkan batas-batas yang dimilikinya. Hal ini berangkat dari kenyataan yang ada dimana keduanya seringkali bertemu dan dikondisikan untuk saling mengungkapkan pendapat masing-masing.[23]
d.       konfirmasi
Bentuk relasi terakhir yang secara jelas menunjukkan proyek utama John F. Haught adalah konfirmasi (confirmation). Ia mengartikan konfirmasi sebagai “menguatkan” atau “mendukung”, bahwa agama menyokong penuh usaha-usaha yang dilakukan sains untuk memahami alam semesta. Pendek kata ia mengatakan: “Religion is in a very deep way supportive of the entire scientific enterprise.”8 Bentuk konfirmasi agama terhadap sains bukan karena agama menyediakan seperangkat pengetahuan tentang semesta seperti yang ditawarkan oleh sains. Agama tidak mempunyai pengetahuan terinci tentang fisika partikel atau kode genetik. Sikap mendukung ini karena secara prinsipil pandangan-pandangan agama bahwa alam semesta terbatas, koheren, rasional, dan teratur, menyediakan pandangan umum yang secara konsisten memelihara pencarian ilmiah dan membebaskan sains dari segala bentuk ideologi yang memenjarakan.[24] Bagi Haught pencarian yang berbasis agama memunculkan kesadaran yang semakin tinggi jika dibandingkan dengan cara pandang materialis yang menghentikan pencarian hanya pada ranah kebendaan.

                  3. Menurut Mehdi Golshani
Pada awal tiap bukunya, Mehdi Golshani selalu mengawali dengan penegasan bahwa Islam tidak membedakan antara sains dan agama karena masing-masing diorientasikan untuk memahami Tuhan. Allah adalah pusat dari segala aktivitas manusia, meskipun aktivitas tersebut tidak berbentuk peribadatan formal namun ketika ia menjadi penjuru dan tujuan utama maka sains pun mempunyai kedudukan yang sama dengan ilmu agama.[25] Golshani memandang aktivitasnya selama ini, sebagai fisikawan, adalah bagian dari ibadah, maka dalam pandangannya tidak ada relasi yang bernuansa konflik atau independen dalam sains dan agama.[26]
Pemahaman ini berangkat dari sebuah hadith yang menegaskan bahwa setiap Muslim wajib menuntut ilmu. Menurut Islam kriteria berharga atau tidaknya pengetahuan bergantung pada kegunaan yang dimilikinya dan kapasitasnya dalam mengantarkan pemahaman tentang Tuhan. Oleh sebab itu segala bentuk pengetahuan yang berguna dan mempunyai kapasitas untuk menggapai Tuhan adalah bagian dari ibadah dan tentunya adalah sebuah keharusan untuk mempelajarinya.[27]
Sains telah membawa sejumlah kegunaan bagi umat manusia serta mendorong manusia untuk lebih mengenal dan dekat dengan penciptanya. Signifikansi sains bagi umat Muslim antara lain adalah: pertama, sains mampu meningkatkan pemahaman tentang Tuhan. Kedua, sains secara efektif mampu meningkatkan peradaban Islam dan mewujudkan cita-cita Islam. Ketiga, sains berfungsi sebagai panduan umat manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan.28 Jika kehadiran sains dibungkus oleh pemahaman seperti di atas maka tidak diragukan lagi ia tidak bertentangan dengan agama, bahkan sains adalah bagian dari agama itu sendiri. Dengan itu pula sains menjadi sakral dan jauh dari nilai-nilai yang bertentangan dengan agama (keilahian). Beragam pengetahuan tidak bersifat asing satu dengan yang lain karena dengan caranya masing-masing mencoba memaknai ciptaan Allah yang terhampar luas di semesta ini. [28]
Golshani mendefinisikan sains sebagai alat untuk memahami fenomena alam dan digunakan untuk memperkaya atau memperdalam pengetahuan orang-orang yang beriman tentang Tuhan. Ada lebih dari 750 ayat dalam AlQur'an yang menyebut tentang fenomena alam dan kebanyakan di dalamnya berupa perintah untuk mempelajari dan merenungkan fenomena-fenomena tersebut.30 Dalam perspektif Al-Qur'an fenomena yang terjadi di alam semesta tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan. Oleh karena itu Tuhan harus selalu menjadi titik akhir dari proses refleksi seorang saintis. Pengetahuan terhadap penciptaan manusia, langit dan bumi adalah bagian penting dari kehadiran Tuhan. Golshani[29] mengutip ayat Al-Qur'an berikut: 

"And one of His signs is the creation of the heavens and the earth and the diversity of your tongues and colour; most surely there are signs in this for the learned." (QS. 30: 22).

Sains dalam pandangan Gholshani harus selalu dihubungkan dengan entitas keilahian sehingga mendorong seorang saintis untuk semakin mengenal sang pencipta. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan yang ada dalam al-Quran tidak berupa penjelasan rinci tentang fenomena alam, “Kitab suci bukanlah sebuah ensiklopedi sains, ” kata Golshani. Uraian-uraian kitab suci tentang proses pergantian siang-malang, turunnya hujan, dan diciptakannya manusia stimulus agar manusia mengungkap fenomena-fenomena tersebut.[30] Fungsi dari kitab suci adalah sebagai sumber inspirasi sekaligus sebagai titik acuan untuk merefleksi segala bentuk kejadian. Oleh sebab itu tidak akan pernah terjadi pertentangan antara sains dan agama karena masing-masing saling mendukung dan mengokohkan.
Ketika Philip Clayton bertanya pada Golshani tentang adakah pertentangan antara aktivitasnya sebagai seorang saintis dan Islam yang ia yakini, Golshani mengatakan : “tidak ada sama sekali,” karena dalam tradisi Islam dalam waktu yang bersamaan seorang bisa mempelajari matematika atau fisika dengan filsafat atau metafisika. Dengan itu penemuan-penemuan saintifik tidak bisa begitu saja meruntuhkan atau menghilangkan bobot iman yang dimiliki. Bahkan, bagi Golshani pemahaman teologis yang ia yakini sejalan dengan perkembangan sains modern. Dan ia melihat filsafat dan sains saling melengkapi (bersifat komplementer).33
Golshani melihat fenomena keterpisahan agama dari sains (dalam dunia Islam) muncul karena sains Barat (mulai masa Renaissance) menginfiltrasi dunia Islam. Sementara sampai pada akhir millenium pertama, para filosof dan fisikawan Avicenna, tidak melakukan pemisahan antara matematika, fisika, dan teologi. Pada akhirnya ketiga hal tersebut benar-benar terpisah dan secara praktis menjadi kecenderungan di universitas-universitas baik di dunia Islam sendiri bahkan di Barat. Dan selama dua dekade terakhir banyak pemikiran yang mulai menawarkan cara-cara untuk menyatukan keduanya. Dalam posisi itu, bagi Golshani, agama (filsafat) harus tetap menjadi penjuru atau acuan bagi sains.[31] Filsafat dalam pandangan Golshani tidak hanya terbatas pada wilayah rasio atau pikiran, karena untuk bisa memahami Tuhan dibutuhkan cara lain yaitu pewahyuan (revelation). Dengan kata lain harus ada kombinasi antara dua ranah untuk bisa mencapai Tujuan.[32] Sebagai seorang yang bergelut dengan fisika, Golshani mengakui bahwa sains modern telah memberi ruang lebih lebar untuk semakin menyadari kehadiran sang perencana (mastermind).[33]
Bagi Golshani yang tepenting adalah berhati-hati pada penemuan ilmiah yang diinterpretasi secara empiristik atau materialistik. Apa pun bentuk penemuan sains: teori ledakan besar (big bang), teori evolusi, dan lain sebagainya, harus diintegrasikan dengan cara pandang metafisis (metaphysical framework) yang selaras dengan pandangan hidup Islami (Islamic worldview). Ia berkata :
“Scientific knowledge can reveal certain aspects of the physical world; but, it should not be identified wint the alpha and omega of knowledge. Rather, it has to integrated into metaphysical framework-consistent with Islamic worldview.”[34]
Di sini Golshani menyebut pandangan hidup Islam (Islamic worldview) sebagai kunci bagaimana sains dibentuk oleh agama. Golshani menyebut tiga elemen pandangan hidup Islam yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan sains pada khususnya. Elemen-elemen tersebut antara lain:

a.      Sifat tunggal Tuhan (al-Tauhid). Konsep ini berdampak pada munculnya pandangan akan kesatuan penciptaan dan saling terkaitnya antara berbagai ciptaan yang ada di muka bumi. Begitu juga dengan pengetahuan, segala bentuk pengetahuan merupakan satu kesatuan yang menjadi manifestasi dari ciptaan atau segala yang ada di muka bumi. Oleh sebab itu pencarian ilmiah harus disintesiskan demi terwujudnya keharmonisan dunia.
b.      Iman pada supra-natural dan keterbatasan pengetahuan manusia. Pandangan ini menegaskan bahwa realitas tidak hanya terdiri dari yang bersifat fisik semata namun ada realitas yang tidak terjangkau oleh inderawi manusia. Iman pada realitas supra-natural dan keterbatasan manusia akan menghasilnya pemahaman pada tingkat inderawi, non inderawi serta tiada batas tertentu.
c.       Percaya pada sifat kebertujuan semesta. Allah menegaskan (al-Quran 38:27) bahwa penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantaranya bukan untuk permainan. Dalam sifat kebertujuan itu disertai dengan adanya keberakhiran (dunia akhirat). Dimana segala sesuatu akan menjumpai nasibnya. Tanpa kehadiran dunia akhirat segala bentuk ciptaan akan menjadi sia-sia.
d.      Berkomitmen pada nilai-nilai moral. Pengembangan sains harus disertai pengetahuan tentang etika. Sains tanpa disertai oleh pertimbanganpertimbangan etika akan menjumpai banyak masalah. Pendidikan etika menjadi hal yang sangat penting untuk menumbuhkan perhatian moral dan tanggung jawab.[35]
Keempat kategori tersebut pada prinsipnya adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh agama Ibrahimi (Abrahamic religion) yang menunjukkan kesamaan pandangan antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Oleh sebab itu Golshani menempatkan karakteristik tersebut dalam kerangka “theistic religion.” 47 Dengan masuknya Islam dalam konstruksi sains, tidak berarti akan merubah konstruksi sains yang telah disepakati oleh komunitas sains. Oleh sebab itu ia menolak definisi-definisi sains Islam yang keluar dari konsep yang ia ajukan, antara lain: pertama, aktivitas ilmiah (pengujian, observasi, teorisasi) akan dilakukan dalam pola yang baru. Kedua, penelitian kimiawi-psikis (physico-chemical) harus merujuk pada al-Quran dan sunnah. Ketiga, memasukkan dimensi keajaiban al-Quran dalam sains Islam. Keempat, sains kembali pada teori ilmiah lama. Dan kelima, segala bentuk sains dan teknologi yang muncul pada abad terakhir ini harus segera dihentikan.[36]

Demikian tentang apa yang bisa kami tulis tentunya jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata, kurang lebihnya mohon maaf dan terimakasih atas kunjunganya. Nantikan artikel-artikel kami selanjutnya. Semoga bermanfaat !!!!


       Daftar Pustaka

Baqir, zainal abidin. Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi dan aksi. 2005.
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002
Barbour, Ian G. When Science Meets Religion. New York: Harper SanFrancisco. 2000.
Dj, Abdul Syakur. Integrasi Ilmu Sebuah rekonstruksi holistik. 2005.
Golshani, Mehdi. “Comment on A Religiously Partisan Science? Islamic and Christian Perspectives.” In Theology and Science. Vol. 3. No.1. 1005.
Golshani, Mehdi. “Sacred Science vs Islamic Science.” In Zainal Abidin Bagir, ed. Science and Religion in a Post-colocial World. Australia: ATF Press. 2005.
Golshani, Mehdi. Issues in Islam and Science. Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies (IHCS). 2004.
Golshani, Mehdi. The Holy Quran and The Science of Nature. New York: Global Scholarly Publication. 2003.
Haught, John F. “Seeing the Universe: Ian Barbour and Teilhard de Chardin.” In Russel, Robert John ed. Fifty Years in Science and Religion. England: Asghate. 2004.
Haught, John F. Deeper Than Darwin: The Prospect for Religion in the Age of Evolution. USA: Westview Press. 2003.
Haught, John F. God after Darwin A Theology of Evolution. USA: Westview Press.2000.
Haught, John F. Science and Religion: From Conflict to Conversation. New York: Paulist Press. 2000.
Haught, John F. Science and Religion: In Search of Cosmic Purpose . New York: Paulist Press. 1995.
Haught, John F. The Cosmic Adventure: Science, Religion and the Quest for Purpose. New York/Ramsey: Paulist Press. 1984.
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1960.
Nugroho, Wahyu. Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke”, dalam Journal of Religion Issues, I:01, 2003.
Pengantar Dr. Mohsen Miri dalam buku John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004.
Pranggono, Bambang. Percikan Sains dalam Al-Qur’an, . 2006.
Rakhmat, Djalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. 2005.
Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi. Bandung: Mizan, 1984
W. Mark Richardson, Slack, Gordy ed. Faith in Science: Scientists Search for Truth. New York: Routledge. 2001.




[1] Rakhmat, Djalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. 2005
[2] Baqir, zainal abidin. Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi dan aksi. 2005
[3] Wahyu Nugroho, Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke, dalam Journal of Religion Issues, I:01, (2003)., hlm. 23-43.

[4]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 54.
[5]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 2.

[6]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 3.
[7]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 55-56.
[8]Ibid, hlm. 65.
[9]Pranggono, Bambang. Percikan Sains dalam Al-Quran. 2006.
[10]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 9.
[11] Ibid, hlm. 13.
[12] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 66.

[13]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 74.
[14]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17.
[15]Ibid, hlm. 18.
[16]Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi. 1984

[17]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.83-94.

[18]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 42-44.

[19] h. 23.
[20] Sebagai perbandingan bisa dilihat kategorisasi yang dibuat oleh Ian G. Barbour, Religion and Science, (New York: HarperSanFrancisco, 1990), h.27; begitu juga dalam. When Science Meets Religion, (New York: Harper SanFarancisco, 2000), h.31; yaitu: konflik (conflict), independensi (Independence), dialog (dialogue), dan integrasi (integration).
[21] John F. Haught, Science and Religion: In Search of Cosmic Purpose,  (New York: Paulist Press, 1995), h.11.
[22] Ibid, h. 13.
[23] Ibid, h. 17. 8 h. 21.
[24] Ibid, h. 22.
[25] Mehdi  Golshani,  The Holy Qur‟an and The Science of Nature, (New York:Global Scholarly Publication, 2003), h.39.
[26] W. Mark Wichardson, Gordy Slack, (ads.)., Faith is Science: Scientists Search for Truth, (New York:Routledge, 2001), h.121.
[27] Mehdi Golshani, From Physics to Metaphysics,  (Iran: Institute for Humanities and Cultural Studies Publication, 1997), h. 5. 28 Ibid, h. 45-46.
[28] Mehdi Golshani, The Qur‟an and The Science of Nature (New York: Global Scholarly Publications, 2003), hal. 49. 
[29] Ibid, h.165.
[30] Richardson, Faith in Science: Scientists, h. 126. 33 Ibid, h.121.
[31] Ibid, h.123.
[32] Ibid,
[33] Ibid,
[34] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science  (Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies (IHCS), 2004), h.125.
[35] Mehdi Golshani, “Sacred Science vs Islamic Science,” dalam ed. Zainal Abidin Bagir, Science and Religion in a Post-colonial Wold  (Australia: ATF Press, 2005), h. 82-87. 47 Mehdi Golshani. Issues in Islam dan Science. 2004. h. 51.
[36] Ibid,

Perang Salib & serangan bangsa Mongol



A.    SEJARAH PERANG SALIB 
Gambar 1. Peta pristiwa perang salib
   1. Timbulnya Perang Salib
   Perang salib (The Crusader War) adalah serangkaian perang agama selama hampir dua abad sebagai reaksi kristen eropa terhadap Islam asia. Perang ini terjadi karena sejumlah kota dan tempat suci Kristen diduduki Islam sejak 632, seperti di Suriah, Asia Kecil, Spanyol, dan Sicilia. Militer Kristen menggunakan salib sebagai simbol yang menunjukkan bahwa perang ini suci dan bertujuan membebaskan kota suci baitul maqdis (Yerusalem) dari orang Islam.
Perang salib awalnya disebabkan adanya persaingan pengaruh antara Islam dan Kristen. Penguasa Islam AIP Arselan yang memimpin gerakan ekspansi yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Manzikart”.[1]Pada tahun 464 H (1071 M), tentara ALP Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Prancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salip. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir.[2]Menurut Phillip K. Hittin, Perang Salib adalah reaksi dunia Kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia. Dilihat dari sudut lain, maka faktor-faktor yang turut menimbulkan perang salib ialah keinginan mengembara kemiliteran bangsa Tentonia. Akan tetapi, yang merupakan penyebab langsung terjadinya perang salip ialah permintaan kaisar Alexius Comnenus tahun 1095, kepada Paus Urbanus II. Kaisar dari Bizantium ini meminta bantuan dari Romawi, karena daerah-daerahnya yang tersebar sampai ke pesisir laut Marmura ditindas-binasakan oleh Bani Saljuk. Bahkan, kota Konstantinopel pusat kekuasaan Romawi diancam direbut oleh kaum muslimin.[3]     2. Sebab-sebab Perang SalibAda beberapa faktor yang memicu terjadinya perang salip. Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang salib, ada tiga hal, yaitu agama, politik, dan sosial ekonomi.         a)      Faktor agama      Sejak dinasti Saljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1070 M, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana karena penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Umat Kristen merasa perlakuaan apara penguasa Dinasti Saljuk sangat berbeda dari para penguasa islam lainnya yang pernah berkuasa di kawasan itu sebelumnya.         b)      Faktor politikKetika itu dinasti Saljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, dan Dinasti Fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan islam di Spanyol semakin goyang. Situasi yang demikian, mendorong para penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah kekuasaan islam, seperti dinasti kecil di Edessa dan Baitul Maqdis.         c)      Faktor sosial ekonomiStratifikasi sosial masyarakat eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan, serta kesatria, dan rakyat jelata. Meskipun merupakan mayoritas dalam masyarakat, kelompok yang terakhir ini menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina. Oleh karena itu, mereka di mobilisasi oleh pihak-pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam perang salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik apabila perang dapat di menangkan. Mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan melibatkan diri dalam perang tersebut.[4]
3.      Periodisasi Perang SalibPara sejarawan berbeda pendapat dalam menetapkan periodisasi perang salib. Prof. Ahmad Syalabi dalam At-Tarikh Al Islami wa Al-Hadharat Al-Islamiyyah misalnya, membagi periodisasi perang salib itu terbagi atas tujuh periode.Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A, bahwa perang salib dapat dibagi dalam 3 periode. Menurut Phillip K. Hitti dalam The Arabs A Short History, pembagian perang salib yang lebih tepat adalah sebagai berikut:         1.      Periode penaklukkan (1096-1144 M)         2.      Periode reaksi umat islam (1144-1192 M)         3.      Periode perang Saudara kecil-kecilan atau periode kehamcuran dalam pasukan salib (1192-                 1291 M). disebut Perang Saudara kecil-kecilan atau periode ini mudah dikenal disemangati                  ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat materi daripada                         motivasi agama. [5]a.       Periode pertama (1095-1147 M)
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel, kemudian ke palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh Gudfrey, Bohemond, dan Raymond, ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai Raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan II di Timur. Bohemond dilantik sebagai rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan kerajaan Latin II dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukkan Baitul maqdis itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, rajanya adalah Raymond. [6]
b.      Periode kedua (1147-1179 M)Pada tahun 1147-1179 M dipimpin oleh raja Louis VII dari Perancis, Kaisar Krurad dari jerman, dan putra Roger dari Sisilia. Menyambut kedatangan angkatan kedua Salibiyah, muncullah pahlawan Nuruddin Zanki, Putra Imanuddin Zanki dan tentara Salib II tidak dapat berbuat banyak, bahkan dimana-mana dapat dikalahkan.Di Mesir peperangan salib ini melahirkan pahlawan yang termansyur namanya ialah Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dengan pimpinan Shalahuddin ini bahkan tentara Islam dapat merebut kembali Baitul Maqdis, kota yang menjadi tujuan tentara salib.[7]c.       Periode ketigaTentara Salib pada periode ketiga ini dipimpin oleh raja jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan mendapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibti.Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat Raja mesir dari Dinasti Ayyubiyah. Waktu itu, Al-Malik Al-Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain, Frederick bersedia melepaskan dimyat, sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan Palestina. Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa Pemerintahan Al-Malik Al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalwun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.[8]Demikianlah perang salib yang terjadi di timur. Perang ini tidak hanya berhenti di barat, di Spanyol, sampai akhirnya umat Islam terusir dari Spanyol Eropa. Akan tetapi, meskipun demikian mereka tidak dapat menurunkan bendera Islam dari Palestina. [9]
Gambar 2. peta inpeksi bangsa mongol pada kerajaan islam

B.     SERANGAN (INVASI) TENTARA MONGOL1.      Silsilah Bangsa MongolFakta sejarah mengungkapkan bahwa pelopor bangsa Mongol adalah Yesugay, ayah dari Chinggis Khan. Setelah kematian Yesugay, Chinggis Khan memimpin bangsa Mongol. Nama jelas Chinggis adalah Temujin yang lahir pada tahun 1154 M. Dan memproklamasikan sebagai Khan (raja) pada tahun 1219, bangsa Mongol menaklukkan Cina seluruh bangsa Tartar. Sejak itu, umat Islam diatur oleh beberapa dinasti baru.Dalam tulisan Ali Mufrodi dijelaskan bahwa asal mula bangsa Mongol ialah dari masyarakat hutan yang mendiami Siberia dan Mongol luar disekitar danau Baikal. Temujin adalah seorang pandai besi yang mencuat namanya karena memenangkan perselisihan dengan orang Khan atau Togril, seorang kepala suku Kereyt. Chinggis sebenarnya adalah gelar bagi temujin yang diberikan kepadanya oleh sidang kepala-kepala suku Mongol yang mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi bangsa itu pada tahun 1206.Chinggis Khan menyempurnakan moral masyarakatnya dengan undang-undang yang dibuatnya, yakni Yasa atau Yasaq. Isi undang-undang tersebut antara lain adalah hukum mati bagi siapa yang berbuat perzinaan, sengaja berbohong, melakukan magic, mata-mata, membantu salah satu dari 2 orang yang berselisih, memberi makan atau pakaian kepada tawanan perang tanpa izin dan bagi yang gagal melaporkan budak belian yang melarikan diri juga dikenakan hukuman mati.Bangsa yang dipimpinnya meluas ke wilayah Tibet (Cina Barat Laut), dan Cina pada tahun 1213, serta dapat menaklukkan Beijing pada tahun 1215. Ia menundukkan Turkistan pada tahun 1218 yang berbatasan dengan wilayah Islam, yakni Khwarazm Syah. Invasi Mongol ke wilayah Islam terjadi karena adanya peristiwa Utrar pada tahun 1218, yaitu ketika Gubernur Khawarazm membunuh para utusan Chinggis yang disertai pula oleh para saudagar muslim.peristiwa tersebut menyebabkan Mongol menyerbu wilayah Islam dan dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khwarazm tahun 1219-1220, padahal sebelumnya mereka justru hidup berdampingan secara damai satu sama lain. Kota Bukhara di Samarkand yang didalamnya terdapat makam Imam Bukhari, salah seorang perawi hadis yang termansyur, dihancurkan. Jalaluddin, penguasa Khwarazm yang berusaha meminta bantuan kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad, menghindari diri dari serbuan Mongol. Ia diburu oleh lawannya hingga ke india pada tahun 1221, dan akhirnya ia lari ke barat. Toluy, salah seorang anak Chinggis, diutus ke Khurasan, sementara anaknya yang lain, yakni Jochi dan Chaghatay bergerak untuk merebut wilayah sungai Sir Darya Bawah dan Khwarazm.Wilayah kekuasaan Jengis Khan yang luas tersebut dibagi untuk empat orang putranya sebelum ia meninggal dunia pada tahun 624/1227. Pertama ialah Jochi, anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian barat dan stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya terdapat Khwarazm. Kedua adalah Chaghatay, mendapat wilayah yang membentang ke timur, sejak Transoxania hingga Turkistan Timur atau Turkistan Cina. Ketiga  bernama Ogedey, adalah putra Jengis Khan yang terpilih oleh Dewan Pemimpin Mongol untuk menggantikan ayahnya sebagai Khan Agung yang mempunyai wilayah di Pamirs dan T’ien Syan. Keempat ialah Toluy, si bungsu mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri. Anak-anaknya, yakni Mongke dan Qubilay menggantikan Ogedey sebagai Khan Agung.
2.      Invasi Mongol Sampai Baghdad JatuhInvasi Mongol terjadi pada masa pemerintahan Iltutmish pada tahun 1221 M. Orang-orang Mongol muncul untuk pertama kalinya ditepi Sungai Indus di bawah pemimpin mereka yang terkenal, Jengis Khan. Jengis Khan menjadikan orang-orang Mongol sebagai kekuatan politik dan militer yang terbesar di Asia. Dia menundukkan negeri-negeri Asia Tengah dan Asia Barat dengan cepat, dan ketika dia menyerang Jalaluddin, Syah Khawarizm yang terakhir, Syah tersebut melarikan diri ke Punjab dan mencari perlindungan di daerah jajahan Iltutmish.Kisah jaruhnya ibukota Abbasiyah pada tahun 1258, yang didirikan oleh khalifah kedua, Al-Mansur terjadi setelah diblokade kota “Seribu Satu Malam”, dinding-dinding Baghdad yang kuat diserang oleh pasukan Holako Khan pada bulan Januari 1258. Orang-orang mongol tidak mau menerima syarat-syarat yang diajukan oleh pihak Abbasiyah untuk menerima penyerahan kota. Bahkan, mereka tidak dapat menerima ancaman-ancaman yang direkayasa dan dipercayai oleh penduduk Baghdad, seperti akan hancur bagi siapa saja yang memusuhi khalifah Abbasiyah dan bila khalifah dibunuh, kesatuan alam akan terganggu, matahari akan bersembunyi, hujan akan terhenti turun, dan tumbuh-tumbuhan tidak akan hidup lagi. Hulako tidak mau menerima ancaman yang berbau gaib itu karena ia sudah dinasihati oleh para astropolognya.Akhirnya, pasukan Mongol menyerang kota pada tanggal 10 Februari 1258. Khalifah beserta 300 pejabat tinggi Negara menyerah tanpa syarat. Hulako mengenakan gelar II khan dan menguasai wilayah yang lebih luas lagi sehingga ke Siria Utara, seperti kota Aleppo, Hama, Harim.Dalam tulidan Philip K. Hitti, dijelaskan bahwa pada tahun 1253, Hulagu, cucu Jengis Khan, bergerak dari Mongol memimpin pasukan berkekuatan besar untuk membasmi kelompok pembunuh (hasyasyin) dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah. Inilah gelombang serangan kedua yang dilakukan bangsa Mongol.Pada 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut tanpa sedikitpun kesulitan, dan kekuasaan kelompok yang ketakutan hancur-lebur. Bahkan lebih tragis lagi, bayi-bayi disembelih dengan kejam. Pada Januari1258, anak buah Hulagu bergerak untuk meruntuhkan tembok ibukota. Selanjutnya, ia ingin merebut Mesir, tetapi malang, pasukan Mamluk rupanya lebih kuat dan lebih cerdik sehingga pasukan Mongol dapat dipukul di ‘Ain Jalut, Palestina, pada tahun 1260. Ia pun mengurungkan niatnya melangkahi Mesir. Atas saran Nasiruddin At-Tusi, seorang filosof muslim besar, ia membangun observatorium di Maragha pada tahun 1259.Pada tahun 1260, pasukan Hulagu mengancam Suriah Utara. Selain merebut Aleppo dan menebaskan pedangnya untuk membantai sekitar 50.000 penduduknya, dia juga merebut Hamah dan Harim. Setelah mengutus seorang jenderal untuk mengepung Damaskus, akhirnya ia -karena merasa terbebani oleh kematian saudaranya, Khan Yang Agung -pulang ke Persia. Balatentara yang ditinggalkannya, stelah menaklukkan Suriah di hancurkan pada tahun 1260 di ‘ain Jalut (mata ait Goliath).Sebagai pendiri Kerajaan Mongol di Persia-yang terbentang dari Amu Darya sampai perbatasan Suriah, dan dari pegunungan Kaukasus sampai Samudera Hindia. Hulagu adalah raja pertama yang memangku gelar II khan. Gelar ini disandang oleh para penerusnya hingga penerus ke tujuh, Ghazan Mahmud, yang dibawah kekuasaannya, islam dengan kecenderungan Syiah menjadi agama Negara. Dibawah rezim Ilkhan atau Hulagu, Baghdad diturunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq Al-‘Arabi. Hulagu yang memerintah hingga tahun 1265 digantikan oleh anaknya, Abaqa.orang-orangMongol II Khaniyah ini bersekutu dengan orang –orang salib, penguasa Kristen Eropa, Armeria, Cilicia untul melawan Mamluk.3.      Batas Kekuasaan MongolWilayah kultur arab menjadi jajahan Mongol setelah Baghdad ditaklukkan oleh Hulagu Khan pada tahun 1258. Ia membentuk kerajaan II Khaniyah yang berpusat di Tabris dan Maragha. Ia dipercaya oleh saudaranya, Mongke Khan untuk mengembalikan wilayah-wilayah Mongol di Asia Barat yang telah lepas dari kekuasaan Mongol setelah sepeninggalnya Chinggis. Ia berangkat disertai pasukan yang besar untuk menunaikan tugas pada tahun 1253 dari Mongolia. Atas kepercayaan saudaranya tersebut, Hulagu dapat menguasai wilayah yang luas, seperti Persia, Irak, Caucasus, dan Asia kecil. Sebelum menundukkan Baghdad, ia telah menguasai pusat gerakan Syiah Islamiyah di Persia Utara, tahun 1256 yang telah bersekutu dengan Mamluk, penguasa Muslim yang berpusat di Mesir. Hubungan dinasti II Khaniyah lama-kelamaan renggang dengan saudara-saudaranya, terutama setelah meninggalnya Qubilay Khan pada tahun 1294 perselisihan dalam tubuh II Khaniyah sendiri menyebabkan terpecahnya kerajaan menjadi dinasti kecil yang bersifat local.Dari sini, dapat dilihat bahwa kultur islam yang ada di kawasan budaya arab, seperti Irak dan Siria, serta sebagian Persia sebelah barat, walaupun secara pilitis dapat ditaklukkan oleh Mongol, akhirnya Mongol sendiri terserap kedalam budaya Islam. Dapat disimplkan bahwa akar budaya islam dikawasan budaya arab diperintahkan bikan hanya dinasti yang berbangsa arab saja, tetapi siapa yang kuat akan memerintah wilayah tersebut.
4.      Dampak Serangan Mongol terhadap Islam
Ada 2 dampak akibat terjadinya Baghdad jatuh ke Mongol, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatifnya yaitu kehancuran jelas dimana-mana akibat serangan Mongol sejak wilayah timur hingga ke barat. Kehancuran kota-kota dengan bangunan-bangunan yang memperburuk situasi umat islam. Pembunuhan terhadap umat islam terjadi, bukan hanya pada masa Hulagu yang membunuh Khalifah Abbasiyah dan keluarganya, tetapi pembunuhan dilakukan juga terhadap umat islam yang tidak berdosa. Argun membunuh umat islam dan mencopotnya dari jabatan-jabatan penting Negara.Bangsa Mongol yang sal mulanya memeluk agama nenek moyang mereka, lalu beralih memeluk agama Budha rupanya bersimpati kepada orang-orang Kristen yang bangkit kembali pada masa itu dan menghalang-halangi dakwah islam di kalangan Mongol. Yang lebih fatalnya lagi adalah hancurnya Baghdad sebagai pusat dinasti Abbasiyah yang didalamnya terdapat tempat belajar dengan fasilitas perpustakaan, hilang lenyap dibakat oleh Hulagu.Ada pula dampak positifnya antara lain disebabkan mereka berasimilasi dan bergaul dengan masyarakat muslim dalam jangka waktu yang panjang, seperti yang dilakukan oleh Gazan Khan (1295-1304) yang menjadikan islam sebagai agama resmi kerajaannya, walaupun ia pada mulanya beragama Budaha. Rupanya, ia telah mempelajari agama-agama sebelum menetapkan keislamannya, dan yang lebih mendorongnya masuk Islam ialah pengaruh seorang menterinya Rasyiduddin yang terpelajar dan ahli sejarah yang terkemuka yang selalu dialog dengannya, dan Nawruz, seorang gubernurnya untuk beberapa provinsi Siria. Ia menyuruh kaum Kristen dan Yahudi untuk membayar jizyah dan memerintahkan mencetak uang yang bercirikan islam, melarang riba, menyuruh para pemimpinnya menggunakan sorban. Ia meninggal ketika masih berumur 32 tahun, karena tekanan batin yang berat sehingga ia sakit dan menyebabkan kematiannya ketika pasukannya kalah di Siria dan munculnya sebuah komplotan yang berusaha untuk mengusirnya dari kekuasaannya.
Sepeninggal Gazan digantikan oleh Uljaitu Khuda Banda (1305-1316) yang memperlakukan alirah Syiah sebagai hukum resmi kerajaannya. Ia mendirikan ibukota baru yang bernama Sultaniyah dekat Qazwain yang dibangun dengan arsitektur khas II Khaniyah. Banyak koloni dagang Italia terdapat di Tabriz dan II Khaniyah menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan antara dunia barat dan india serta Timur Jauh. Namun, perselisihan dalam keluarga Dinasti II Khaniyah menyebabkan runtuhnya kekuasaan mereka. [10]

C.    DAMPAK YANG DI TIMBULKAN.1. Bidang politikTerjadi balance of power karena di bagian barat terjadi permusuhan antara bani Umayyah II di Andalusia dengan kekaisaran karoling di Perancis, sedangkan di bagian timur terjadi perseteruan antara bani Abbasyah dengan kekaisaran Byzantium timur di semenanjung Balkan. Bani Abbasyah juga bermusuhan dengan Bani Umayyah II dalam perebutan kekuasaan pada tahun 750 M. Kekaisaran Karoling bermusuhan dengan kekaisaran Byzanium timur dalam memperebutkan Italia. Oleh karena itu terjadilah persekutuan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Karoling, sddangkan bani Umayyah II bersekutu dengan Byzantium Timur. Persekutuan baru berakhir setelah terjadi perang salib (1096-1291).
2. Bidang Sosial EkonomiIslam telah menguasai Andalusia pada tahun 711 M dan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Keadaan ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan Eropa. Islam berarti telah menguasai daerah timur tengah yang ketika itu menjadi jalur dagan dari Asia ke Eropa. Saat itu perdagangan ditentukan oleh negara-negara Islam. Hal ini menyebabkan mereka menemukan Asia dan Amerika.
3. Bidang KebudayaanMelalui bangsa Arab (Islam), Eropa dapat memahami ilmu pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh tokoh yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain sebagai berikut.
a. Al Farabi (780-863M)Al Farabi mendapat gelar guru kedua (Aristoteles digelari guru pertama). Al Farabi mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku karya aristoteles.
b. Ibnu Rusyd (1120-1198)Ibnu Rusyd memiliki peran yang sangat besar sekali pengaruhnya di Eropa sehingga menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu Rusyd dipanggil Averoes) yang menuntut kebebasan berfikir. Berawal dari Averoisme inilah lahir roformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan Ibnu Rusyd kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c. Ibnu Sina (980-1060 M)Di Eropa, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicena. Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan Persia, penulis buku-buku kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau juga seorang filsuf yang terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau wahdatul wujud. Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya yang terkenal dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang menjadi suatu rujukan ilmu kedokteran.
4. Bidang PendidikanBanyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-unniversitas Islam di Spanyol seprti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafatBanyak gambaran berkembangnya Eropa pada saat berada dalam kekuasaan Islam, baik dalm bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi, kebudayaan, ekonomi maupun politik. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut.1.      Seorang sarjana Eropa, petrus Alfonsi (1062 M) belajar ilmu kedokteran pada salah satu fakultas kedokteran di Spanyol dan ketika kembali ke negerinya Inggris ia diangkat menjadi dokter pribadi oleh Raja Henry I (1120 M). Selain menjadi dokter, ia bekerja sama dengan Walcher menyusun mata pelajaran ilmu falak berdasarkan pengetahuan sarjan dan ilmuwan muslim yang didapatnya dari spanyol. Demikin juga dengan Adelard of Bath (1079-1192 M) yang pernah belajar pula di Toledo dan setelah ia kembali ke Inggris, ia pun menjadi seorang sarjan yang termasyhur di negaranya.2.      Cordoba mempunyai perpustakaan yang berisi 400.000 buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.3.      Seorang pendeta kristen Roma dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) mempelajari bahasa Arab di Paris (1240-1268 M). Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa latin yang dimilikinya, ia dapat membaca nasakah asli dan menterjemahkannya ke dalam berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan tersebut dibawanya ke Universitas Oxford Inggris. Sayangnya, penerjemahan tersebut di akui sebagai karyanya tanpa menyebut pengarang aslinya. Diantara bukuyang diterjemahkan antara lain adalah Al Manzir karya Ali Al Hasan Ibnu Haitam (965-1038 M). Dalam buku itu terdapat teori tentang mikroskop dan mesiu yang banyak dikatakan sebagai hasil karya Roger Bacon.4.      Seorang sarjana berkebangsaan Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003 M) dan pengikutnya, Gerard de Cremona (1114-1187 M) yang lahir di Cremona, Lombardea, Italia Utara, pernah tinggal di Toledo, Spanyol. Dengan bantuan sarjana muslim disana , ia berhasil menerjemahkan lebih kurang 92 buah buku ilmiah Islam ke dalam bahasa latin. Di antara karya tersebut adalah Al Amar karya Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ar Razi (866-926 M) dan sebuah buku kedokteran karangan Qodim Az Zahrawi serta buku Abu Muhammad Al baitar berisi tentang tumbuhan. Sarjana-sarjana muslim tersebut mengajarkan penduduk non muslim tanpa membeda-bedakan agama yang mereka anut.5.      Apabila kerajaan-kerajaan non muslim mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam, maka yang terjadi adalah pembumihangusan kebudayaan Islam dan pembantaian kaum muslim. Akan tetapi, apabila kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai kerajaan non muslim, maka penduduk negeri tersebut diperlakukan dengan baik. Agama dan kebudayaan merekapun tidak terganggu.6.      Banyak sarjana-sarjana muslim yang berjasa karena telah meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa meskipun ironisnya diakui sebagai karya mereka sendiri.Akibat atau pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam ini menimbulkan kajian filsafat Yunani di Eropa secara besar-besaran dan akhirnya menimbulkan gerakan kebangkitan atau renaissans pada abad ke-14. berkembangnya pemikiran yunani ini melalui karya-karya terjemahan berbahasa arab yang kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Disamping itu, Islam juga membidani gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan aufklarung atau pencerahan pada abad ke-18 M.Nasib kaum muslim di Spanyol sepeninggal Abu Abdullah Muhammad dihadapakan pada beberapa pilihan antara lain masuk ke dalam kristen atau meninggalkan spanyol. Bangunan-bangunan bersejarah yang dibangun oleh Islam diruntuhkan dan ribuan muslim mati terbunuh secara tragis. Pada tahun 1609 M, Philip III mengeluarkan undang-undang yang berisi pengusiran muslim secara pakasa dari spanyol. Dengan demikian, lenyaplah Islam dari bumi Andalusia, khusunya Cordoba yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di barat sehingga hanya menjadi kenangan.Jatuhnya peradaban dan kebudayaan Islam setelah diakulturasikan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan umat Islam membuahkan sekulerisme dunia Islam. Karenanya tidak mengherankan bila sekarang ini kita dapat menemukan dengan amat mudah akibat-akibat yang ditimbulkannya, antara lain sebagai berikut:a.   Kebudayaan yang diterapkan di dunia Islam sekarang ini telah tercemar dalam kondisi cukup parah oleh kebudayaan Barat, dan lebih parahnya lagi kebudayaan itu dijadikan sebagai konsepsi kebudayaan umat Islam.b.  Masyarakat kaum Muslimīn telah menjauhi konsepsi masyarakat Islam yang dulu berdasarkan ‘aqīdah, ide-ide, jiwa dan peraturan Islam. Sekarang ini mereka lebih mirip dengan masyarakat Eropa, Amerika, Rusia dan Cina daripada masyarakat Islam.c.    Prinsip-prinsip sosio budaya yang dipratekkan oleh umat Islam telah jauh dari prinsip-prinsip sosio budaya Islam, baik dari segi hubungan antara qaum pria maupun wanitanya. Demikian pula halnya dengan segi-segi hiburan, kesenian, peragaan, busana ataupun bentuk-bentuk bangunan (arsitektur).d. Dengan semakin giatnya akulturasi dalam bidang kesenian, seni umat Islam telah diwarnai oleh kesenian Barat yang sekularistik. Dengan demikian semakin banyaklah karya seni kaum Muslimīn sā‘at ini yang berlawanan dengan konsepsi seni Islam.




[1]. Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010) hal. 231
[2] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) hal. 77
[3]. Prof. Dr. H. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 182

[4] Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Sejarah Peradaban Islam, hal. 234-236
[5] Ibid., hal. 137
[6] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 77
[7] Prof. Dr. H. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, hal. 184
[8] Ibid., hal. 79
[9] Ibid., hal. 241
[10].Dedi Supriyadi, M.A, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008) Hal. 177-186