Integrasi Agama dan Sains
Posted by
Unknown
on
21.08
with
2
comments
Integrasi Agama & Sains
Assalamu'alaikum good people, puji syukur kehadirat Tuhan, karena pada kesempatan ini kami bisa kembali berbagi artikel pengetahuan. untuk kali ini saya akan membahas tentang Integrasi Agama & Sains (IAS) yang mana pada era yang rawan akan perselisihan tentunya dalam keabsahan SAINS menurut AGAMA ataupun sebaliknya,untuk itu kami mencoba mengurai permasalahan tersebut melalui artikel ini yang mana kami mengangkat tiga tokoh yang membahas teori Integrasi.
So...let's check it out!!!!
Sebelum mengarah ke teori kedua tokoh integrasi, terlebih dahulu mengetahui secara umum pengertia dari Integrasi Agama dan Sains
Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi
kesatuan yg utuh atau bulat. Dalam buku Intimations of Reality, Peacock
mengambarkan sains dan agama sebagai suatu entitas yang memiliki persamaan dan
perbedaan, dan relasi diantara keduanya terjadi hanya dalam tataran
intelektual. Hal ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa manusia pada saat
ini sedang menjalani hidupnya dalam konteks sains. Artinya, segala pola pikir
dan tingkah laku manusia dalam hidupnya telah dikuasi oleh cara pandang sain
terhadap dunia.[1]
Agama, karena sifatnya yang sangat
mendasar,jelas tidak seharusnya didekati secara ilmiah. Sebab justru dari
agamalah nilai etika masyarakat manusia dikembangkan. Bukan sebaliknya. Sedang
asumsi dasar ilmiah,jelas juga tidak boleh melanggar nilai-nilai etis yang ada.[2]
Tidak semua agama merasakan perlunya
ilmu agama. Sebab,setiap agama mempunyai sifat maupun ajaran pokoknya, yang
perlu dipegang teguh terutama oleh para rokhaniawannya.
Namun perkembangan zaman menuntut
analisis maupun fatwa yang diharapkan sejalan dengan wawasan para ilmuwan.
Karena itu selalu diperlukan pendekatan dari pihak ilmuwan kepada rokhaniawan.
Sebab, buat masyarakat modern,ilmuwan dan rokhaniawan merupakan tokoh-tokoh
yang sangat mempengaruhi tata nilai peradaban masyarakat umum.
Ya.. kurang lebihnya seperti itu lah so next ke materi selanjutnya, yaitu bagaimanasih teori integrasi agama dan sains yang di angkat oleh ketiga tokoh ini Ian G. Barbour, John F. Haught, & Mehdi Golshani
1. Menurut Ian G. Barbour
Dalam kutipan Wahyu Nugroho, Gregory R. Peterson
mencatat beberapa lembaga, penerbitan, seminar dan konferensi yang
diidentifikasi sebagai upaya membangun model hubungan antara agama dan sains
yang ideal dan ramai di pasaran, seperti tulisan Ian G. Barbour lewat karyanya,
Religion in an Age of Science (1990), Nacey Murphy, Theology in the Age of
Scientific.[3]
Di Indonesia, kajian dan pandangan tentang Integrasi
Sains dan Islam dalam berbagai interdisiplin keilmuan masih marak dibicarakan
para tokoh pendidikan. Oleh karena demikian, maka Reasoning (1990), Philip
Hefner, The Human Factor (1993), Arthur Peacock, Theology for a Scientific
Age (1993), dan lainnya.[berbagai
universitas mencoba memberikan perhatian khusus pada bidang kajian integrasi
sains dan Islam ini. Salah satunya Universitas Brawijaya Malang telah membuka
Program Studi Magister Kajian Sains dan Islam (INSANI), dimana visi utamanya
adalah menjadi tempat kajian
interdisiplin saintifik-islami, serta
pusat informasi tentang kajian
integrasi sains dan Islam yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang juga telah
membentuk sebuah forum yang mengkaji tentang model pendidikan integratif dan
model riset yang menintegrasikan sains dan Islam.
Ian G. Barbour selaku tokoh pengkaji hubungan sains
dan agama telah memetakan hubungan keduanya dengan membuka kemungkinan
interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang
hubungan sains dan agama, dia juga berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang
dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama terhadap
disiplin-disiplin ilmiah tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam
pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap
variannya berbeda satu sama lain.
a.
Konflik
Model ini berpendirian bahwa agama dan sains adalah
dua hal yang tidak sekedar berbeda tapi sepenuhnya bertentangan. Karena itu,
seseorang dalam waktu bersamaan tidak mungkin dapat mendukung teori sains dan
memegang keyakinan agama, karena agama tidak bisa membuktikan kepercayaan dan
pandangannya secara jelas (straight forword), sedang sains bias dikata mampu membuktikan
kepercayaan dan pandangannya secara jelas.
Pandangan konflik ini
mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku
berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya
J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom
karya A. D. White.[4]
Pandangan ini
menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa
sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus
memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan
mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama,
begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi
masing-masing.
Adapun alasan utama para
pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan
sains adalah sebagai berikut:
a.
Menurut mereka
agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan
tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b.
Agama mencoba
bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang
keberadaan Tuhan, sementara dipihak
lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
pengalaman.[5]
c.
Pertentangan
antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal
kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya
dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan
mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak
sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan
kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini
adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek
pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar
dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi
sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada
tahun 1633.[6]
Sementara disisi lain, sebahagian
saintis berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan
otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian
kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah.
Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik
yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.[7]
Barbour menanggapi hal ini dengan
argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan
memilih antara sains dan agama. Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan
dan klenik, sedangkan agama dapat memurnikan sains dari keberhalaan dan
keyakinan mutlak yang keliru. Dengan keduanya lah (Agama dan Sains) kita
mendapatkan pandangan yang lebih luas dalam membangun keilmuan masa dewasa ini.[8]
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi
di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang
keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah
argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka
kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia
dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara
langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak
belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.
b.
Independensi
Model ini berpendirian bahwa
agama dan sains memiliki persoalan, wilayah dan metode yang berbeda, dan
masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sehingga tidak perlu ada hubungan,
kerjasama atau konflik antara keduanya.[9]
Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan
agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda. Agama
dansains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama
lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini
tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang menurut
mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk mengakui
perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini.[10]Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang
dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan
bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini
kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah
berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi
masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu.
Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan
jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual
dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi
ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam
nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan.
Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi
ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini
tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut
pandangan independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan
Langdon Gilkey.
Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan
pengikutnya, menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni
menurut mereka tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak
dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya
bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya
sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur
teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya
berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi
berdasarkan wahyu Ilahi.[11]
Ian G. Barbour berkomentar bahwa “jika
sains dan agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa
dihindari, tetapi hal tersebut juga berefek pada memupus kemungkinan terjadinya
dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan
bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Melainkan kita merasakan hidup
sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin
untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.[12]
c.
Dialog
Model ini bermaksud mencari
persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara agama dan
sains, sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan
agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan
independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa
didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan
dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi
metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan
metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.[13]
Ian G. Barbour memberikan contoh masalah yang
didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi
ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga
bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan
yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam
keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat
menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap
menghormati integritas masing-masing.[14]
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama
dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa
dalam dunia nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana
diandaikan oleh pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah
membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun
telah mempengaruhi teologi.[15]
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang
hakikat ilmu pengetahuan, cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak
begitu berbeda, secara tidak langsung hubungan sains dan agama tidak lagi dalam
posisi konflik dan indenpendensi. Pada pendekatan dialog ini sains tidak lagi
tampak sangat murni dan objektif sebagaimana biasanya, dan demikian pula
teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi
antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas
masing-masing.
d.
Integrasi
Model ini berusaha mencari titik temu pada masalah
masalah yang dianggap bertentangan antara keduanya.. Pada model ini posisi
sains adalah memberikan konfirmasi (memperkuat atau mendukung) keyakinan
tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta.[16]
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih
bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains
dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan
menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang
diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi
manusia yang beriman. Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a.
Natural Theology,
mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari bukti tentang desain
alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita semakin menyadari bahwa
alam ini adalah karya Allah Swt. semata.
b.
Theology Of
Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan
wahyu historis. Theology of Nature tidak berangkat dari sains sebagaimana
natural theology, Dalam theology of
nature, ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains,
tetapi ia juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan
ulang dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang
penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.
c.
Sintesis
Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan
agama memberikan kontribusi kea rah pandangan
dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang
komprehensif.[17]
Mencermati pandangan
integrasi Sains dan agama akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup
sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat
meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu
atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang
melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan
deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang
dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif
keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan
keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh
melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan
koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika
memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun
secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin
melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan
detail-detail struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi
acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi,
akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu
yang membuka kemungkinan variasi detail organisme tersebut.
Ada beberapa pendekatan
yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari
data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk
memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua,
yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan
teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan
kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini.
Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam
kerangka konseptual yang sama.[18]
2. Menurut John F. Haught
Ketika Haught menyatakan bahwa agama mendukung sains
dengan pola konfirmasinya, maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang
mendasari itu semua? Bangunan apakah yang bisa menjustifikasi bahwa sains
mempunyai kaitan yang erat dengan agama ? Dalam pandangan Haught sains tidak
bisa memenuhi dirinya sendiri (self
sufficient) dalam melakukan upaya-upaya ilmiah. Sains selalu merujuk atau
mengakar pada keimanan (faith) :
“Science,
to be more specific, cannot even get off the ground with out rooting itself in
a kind of a priori “faith” that the universe is rationally ordered totally of
things”[19]
Oleh karena itu sains
tidak bisa berdiri sendiri, namun ia bergantung pada entitas yang sifatnya
permanen tersebut. Haught mendefinisikan nilai permanen tersebut sebagai sumber
inspirasi yang akhirnya menghidupkan dan mengembangkan lebih jauh eksplorasi ilmiah.
Haught membagi pola relasi sains dan agama dalam empat bentuk : konflik,
kontras, kontak, dan konfirmasi. [20]
a.
Konfilik
Relasi pertama menempatkan sains dan agama sebagai dua
entitas yang berseberangan dari berbagai sudut, baik secara mauatan (content), historis, maupun metodologis.
Dalam pola relasi ini terjadi berjumpaan antara aliran skeptis ilmiah (scientific skeptics) sebagai kekuatan
yang dengan keras menegaskan tidak diperlukannya lagi penjelasan penjelasan
agama dengan kelompok literal (Biblical
literalist) yang memahami kitab suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Perjumpaan dua kubu yang saling menegaskan tersebut memunculkan konflik yang
tak kesudahan. [21]
b.
Kontras
Dalam relasi kontras, Haught menyarankan untuk membuat
suatu batasan yang jelas antara sains dan agama sehingga tidak terjadi konflik.
Batasan ini dimaksudkan sebagai penjelas bahwa masing-masing mempunyai wilayah
yang berbeda, sehingga tidak boleh menjustifikasi agama, misalnya, dengan
kategori-kategori yang dimiliki sains. Pola relasi kontras ini penting karena
seringkali konflik muncul ketika terjadi „peleburan‟ (conflation),
yakni runtuhnya perbedaan sains dan agama yang berakibat pada hilangnya
unsur-unsur yang membedakan keduanya. Tentu saja „peleburan‟ (conflation)
ini terjadi, baik pada agama maupun sains. Kisah termartirkannya Galileo adalah kesalahan dalam
mengidentifikasi wilayah agama yang dipaksakan pada sains.[22]
c.
Kontak
Pola berikutnya adalah kontak, dengan relasi ini agama
dan sains diarahkan untuk saling berkomunikasi tanpa menghilangkan batas-batas
yang dimilikinya. Hal ini berangkat dari kenyataan yang ada dimana keduanya
seringkali bertemu dan dikondisikan untuk saling mengungkapkan pendapat
masing-masing.[23]
d.
konfirmasi
Bentuk relasi terakhir yang secara jelas menunjukkan
proyek utama John F. Haught adalah konfirmasi (confirmation). Ia mengartikan konfirmasi sebagai “menguatkan” atau
“mendukung”, bahwa agama menyokong penuh usaha-usaha yang dilakukan sains untuk
memahami alam semesta. Pendek kata ia mengatakan: “Religion is in a very deep way supportive of the entire scientific
enterprise.”8 Bentuk konfirmasi agama terhadap sains bukan
karena agama menyediakan seperangkat pengetahuan tentang semesta seperti yang
ditawarkan oleh sains. Agama tidak mempunyai pengetahuan terinci tentang fisika
partikel atau kode genetik. Sikap mendukung ini karena secara prinsipil
pandangan-pandangan agama bahwa alam semesta terbatas, koheren, rasional, dan
teratur, menyediakan pandangan umum yang secara konsisten memelihara pencarian ilmiah
dan membebaskan sains dari segala bentuk ideologi yang memenjarakan.[24] Bagi Haught pencarian yang
berbasis agama memunculkan kesadaran yang semakin tinggi jika dibandingkan
dengan cara pandang materialis yang menghentikan pencarian hanya pada ranah kebendaan.
3. Menurut Mehdi Golshani
Pada awal tiap bukunya, Mehdi Golshani selalu
mengawali dengan penegasan bahwa Islam tidak membedakan antara sains dan agama
karena masing-masing diorientasikan untuk memahami Tuhan. Allah adalah pusat
dari segala aktivitas manusia, meskipun aktivitas tersebut tidak berbentuk
peribadatan formal namun ketika ia menjadi penjuru dan tujuan utama maka sains
pun mempunyai kedudukan yang sama dengan ilmu agama.[25]
Golshani memandang aktivitasnya selama ini, sebagai fisikawan, adalah bagian
dari ibadah, maka dalam pandangannya tidak ada relasi yang bernuansa konflik
atau independen dalam sains dan agama.[26]
Pemahaman ini berangkat dari sebuah hadith yang menegaskan bahwa setiap
Muslim wajib menuntut ilmu. Menurut Islam kriteria berharga atau tidaknya
pengetahuan bergantung pada kegunaan yang dimilikinya dan kapasitasnya dalam
mengantarkan pemahaman tentang Tuhan. Oleh sebab itu segala bentuk pengetahuan
yang berguna dan mempunyai kapasitas untuk menggapai Tuhan adalah bagian dari
ibadah dan tentunya adalah sebuah keharusan untuk mempelajarinya.[27]
Sains telah membawa sejumlah kegunaan bagi umat
manusia serta mendorong manusia untuk lebih mengenal dan dekat dengan
penciptanya. Signifikansi sains bagi umat Muslim antara lain adalah: pertama, sains mampu meningkatkan
pemahaman tentang Tuhan. Kedua, sains
secara efektif mampu meningkatkan peradaban Islam dan mewujudkan cita-cita
Islam. Ketiga, sains berfungsi
sebagai panduan umat manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan.28
Jika kehadiran sains dibungkus oleh pemahaman seperti di atas maka tidak
diragukan lagi ia tidak bertentangan dengan agama, bahkan sains adalah bagian
dari agama itu sendiri. Dengan itu pula sains menjadi sakral dan jauh dari
nilai-nilai yang bertentangan dengan agama (keilahian). Beragam pengetahuan
tidak bersifat asing satu dengan yang lain karena dengan caranya masing-masing
mencoba memaknai ciptaan Allah yang terhampar luas di semesta ini. [28]
Golshani mendefinisikan sains sebagai alat untuk
memahami fenomena alam dan digunakan untuk memperkaya atau memperdalam
pengetahuan orang-orang yang beriman tentang Tuhan. Ada lebih dari 750 ayat
dalam AlQur'an yang menyebut tentang fenomena alam dan kebanyakan di dalamnya
berupa perintah untuk mempelajari dan merenungkan fenomena-fenomena tersebut.30
Dalam perspektif Al-Qur'an fenomena yang terjadi di alam semesta tidak bisa
dilepaskan dari eksistensi Tuhan. Oleh karena itu Tuhan harus selalu menjadi
titik akhir dari proses refleksi seorang saintis. Pengetahuan terhadap
penciptaan manusia, langit dan bumi adalah bagian penting dari kehadiran Tuhan.
Golshani[29] mengutip ayat Al-Qur'an
berikut:
"And one of His signs is the creation of the
heavens and the earth and the diversity of your tongues and colour; most surely
there are signs in this for the learned." (QS. 30: 22).
Sains dalam pandangan Gholshani harus selalu
dihubungkan dengan entitas keilahian sehingga mendorong seorang saintis untuk
semakin mengenal sang pencipta. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan
yang ada dalam al-Qur‟an tidak berupa penjelasan rinci tentang fenomena
alam, “Kitab suci bukanlah sebuah
ensiklopedi sains, ” kata Golshani. Uraian-uraian kitab suci tentang proses
pergantian siang-malang, turunnya hujan, dan diciptakannya manusia stimulus
agar manusia mengungkap fenomena-fenomena tersebut.[30]
Fungsi dari kitab suci adalah sebagai sumber inspirasi sekaligus sebagai titik
acuan untuk merefleksi segala bentuk kejadian. Oleh sebab itu tidak akan pernah
terjadi pertentangan antara sains dan agama karena masing-masing saling
mendukung dan mengokohkan.
Ketika Philip Clayton bertanya pada Golshani tentang
adakah pertentangan antara aktivitasnya sebagai seorang saintis dan Islam yang
ia yakini, Golshani mengatakan : “tidak
ada sama sekali,” karena dalam tradisi Islam dalam waktu yang bersamaan
seorang bisa mempelajari matematika atau fisika dengan filsafat atau
metafisika. Dengan itu penemuan-penemuan saintifik tidak bisa begitu saja
meruntuhkan atau menghilangkan bobot iman yang dimiliki. Bahkan, bagi Golshani
pemahaman teologis yang ia yakini sejalan dengan perkembangan sains modern. Dan
ia melihat filsafat dan sains saling melengkapi (bersifat komplementer).33
Golshani melihat fenomena keterpisahan agama dari
sains (dalam dunia Islam) muncul karena sains Barat (mulai masa Renaissance)
menginfiltrasi dunia Islam. Sementara sampai pada akhir millenium pertama, para
filosof dan fisikawan Avicenna, tidak melakukan pemisahan antara matematika,
fisika, dan teologi. Pada akhirnya ketiga hal tersebut benar-benar terpisah dan
secara praktis menjadi kecenderungan di universitas-universitas baik di dunia
Islam sendiri bahkan di Barat. Dan selama dua dekade terakhir banyak pemikiran
yang mulai menawarkan cara-cara untuk menyatukan keduanya. Dalam posisi itu,
bagi Golshani, agama (filsafat) harus tetap menjadi penjuru atau acuan bagi
sains.[31] Filsafat dalam pandangan
Golshani tidak hanya terbatas pada wilayah rasio atau pikiran, karena untuk
bisa memahami Tuhan dibutuhkan cara lain yaitu pewahyuan (revelation). Dengan kata lain harus ada kombinasi antara dua ranah
untuk bisa mencapai Tujuan.[32] Sebagai seorang yang
bergelut dengan fisika, Golshani mengakui bahwa sains modern telah memberi
ruang lebih lebar untuk semakin menyadari kehadiran sang perencana (mastermind).[33]
Bagi Golshani yang tepenting adalah berhati-hati pada
penemuan ilmiah yang diinterpretasi secara empiristik atau materialistik. Apa
pun bentuk penemuan sains: teori ledakan besar (big bang), teori evolusi, dan lain sebagainya, harus diintegrasikan
dengan cara pandang metafisis (metaphysical
framework) yang selaras dengan pandangan hidup Islami (Islamic worldview). Ia berkata :
“Scientific knowledge can reveal certain aspects of
the physical world; but, it should not be identified wint the alpha and omega
of knowledge. Rather, it has to integrated into metaphysical
framework-consistent with Islamic worldview.”[34]
Di sini Golshani menyebut pandangan hidup Islam (Islamic worldview) sebagai kunci
bagaimana sains dibentuk oleh agama. Golshani menyebut tiga elemen pandangan
hidup Islam yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan sains pada khususnya.
Elemen-elemen tersebut antara lain:
a.
Sifat tunggal
Tuhan (al-Tauhid). Konsep ini
berdampak pada munculnya pandangan akan kesatuan penciptaan dan saling
terkaitnya antara berbagai ciptaan yang ada di muka bumi. Begitu juga dengan
pengetahuan, segala bentuk pengetahuan merupakan satu kesatuan yang menjadi
manifestasi dari ciptaan atau segala yang ada di muka bumi. Oleh sebab itu
pencarian ilmiah harus disintesiskan demi terwujudnya keharmonisan dunia.
b.
Iman pada
supra-natural dan keterbatasan pengetahuan manusia. Pandangan ini menegaskan
bahwa realitas tidak hanya terdiri dari yang bersifat fisik semata namun ada
realitas yang tidak terjangkau oleh inderawi manusia. Iman pada realitas
supra-natural dan keterbatasan manusia akan menghasilnya pemahaman pada tingkat
inderawi, non inderawi serta tiada batas tertentu.
c.
Percaya pada
sifat kebertujuan semesta. Allah menegaskan (al-Qur‟an 38:27) bahwa penciptaan langit dan bumi serta
segala sesuatu yang ada diantaranya bukan untuk permainan. Dalam sifat
kebertujuan itu disertai dengan adanya keberakhiran (dunia akhirat). Dimana
segala sesuatu akan menjumpai nasibnya. Tanpa kehadiran dunia akhirat segala
bentuk ciptaan akan menjadi sia-sia.
d. Berkomitmen pada nilai-nilai moral. Pengembangan sains
harus disertai pengetahuan tentang etika. Sains tanpa disertai oleh
pertimbanganpertimbangan etika akan menjumpai banyak masalah. Pendidikan etika
menjadi hal yang sangat penting untuk menumbuhkan perhatian moral dan tanggung
jawab.[35]
Keempat kategori tersebut pada prinsipnya adalah nilai-nilai yang
dimiliki oleh agama Ibrahimi (Abrahamic
religion) yang menunjukkan kesamaan pandangan antara Islam, Kristen, dan
Yahudi. Oleh sebab itu Golshani menempatkan karakteristik tersebut dalam
kerangka “theistic religion.” 47
Dengan masuknya Islam dalam konstruksi sains, tidak berarti akan merubah
konstruksi sains yang telah disepakati oleh komunitas sains. Oleh sebab itu ia
menolak definisi-definisi sains Islam yang keluar dari konsep yang ia ajukan,
antara lain: pertama, aktivitas
ilmiah (pengujian, observasi, teorisasi) akan dilakukan dalam pola yang baru. Kedua, penelitian kimiawi-psikis (physico-chemical) harus merujuk pada
al-Qur‟an dan sunnah. Ketiga, memasukkan
dimensi keajaiban al-Qur‟an dalam sains Islam. Keempat, sains
kembali pada teori ilmiah lama. Dan kelima,
segala bentuk sains dan teknologi yang muncul pada abad terakhir ini harus
segera dihentikan.[36]
Demikian tentang apa yang bisa kami tulis tentunya jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata, kurang lebihnya mohon maaf dan terimakasih atas kunjunganya. Nantikan artikel-artikel kami selanjutnya. Semoga bermanfaat !!!!
Daftar Pustaka
Baqir, zainal
abidin. Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi dan aksi. 2005.
Barbour, Ian G.
Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan,
2002
Barbour, Ian G. When
Science Meets Religion. New York: Harper SanFrancisco. 2000.
Dj, Abdul
Syakur. Integrasi Ilmu Sebuah rekonstruksi holistik. 2005.
Golshani, Mehdi. “Comment
on A Religiously Partisan Science? Islamic and Christian Perspectives.”
In Theology and Science. Vol. 3.
No.1. 1005.
Golshani, Mehdi.
“Sacred
Science vs Islamic Science.” In Zainal Abidin Bagir, ed. Science and Religion in a Post-colocial
World. Australia: ATF Press. 2005.
Golshani, Mehdi.
Issues
in Islam and Science. Tehran: Institute for Humanities and Cultural
Studies (IHCS). 2004.
Golshani, Mehdi.
The
Holy Quran and The Science of Nature. New York: Global Scholarly Publication.
2003.
Haught, John F.
“Seeing the Universe: Ian Barbour and Teilhard de Chardin.” In Russel, Robert
John ed. Fifty Years in Science and Religion. England: Asghate. 2004.
Haught, John F. Deeper
Than Darwin: The Prospect for Religion in the Age of Evolution. USA:
Westview Press. 2003.
Haught, John F. God
after Darwin A Theology of Evolution. USA: Westview Press.2000.
Haught, John F. Science
and Religion: From Conflict to Conversation. New York: Paulist Press. 2000.
Haught, John F. Science
and Religion: In Search of Cosmic Purpose . New
York: Paulist Press. 1995.
Haught, John F. The
Cosmic Adventure: Science, Religion and the Quest for Purpose. New
York/Ramsey: Paulist Press. 1984.
John F. Haught,
Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004
Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1960.
Nugroho, Wahyu.
Teologi Kristen dalam Konteks Sains; Kajian Kritis atas Gagasan Arthur
Peacocke”, dalam Journal of Religion Issues, I:01, 2003.
Pengantar
Dr. Mohsen Miri dalam buku John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari
Konflik ke Dialog, Bandung: Mizan, 2004.
Pranggono,
Bambang. Percikan Sains dalam Al-Qur’an, . 2006.
Rakhmat,
Djalaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. 2005.
Titus, Harold
H.. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi. Bandung: Mizan, 1984
W. Mark Richardson, Slack, Gordy
ed. Faith
in Science: Scientists Search for Truth. New York: Routledge. 2001.
[1] Rakhmat, Djalaluddin. Psikologi Agama Sebuah
Pengantar. 2005
[2] Baqir, zainal abidin. Integrasi Ilmu dan Agama
interpretasi dan aksi. 2005
[3] Wahyu Nugroho, Teologi Kristen dalam Konteks Sains;
Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke”, dalam Journal
of Religion Issues, I:01, (2003)., hlm. 23-43.
[4]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 54.
[5]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari
Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 2.
[6]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari
Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 3.
[7]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 55-56.
[9]Pranggono, Bambang. Percikan Sains dalam Al-Qur’an. 2006.
[10]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari
Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 9.
[11] Ibid, hlm.
13.
[12] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 66.
[13]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 74.
[14]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari
Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17.
[16]Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat, terj.
HM. Rasjidi. 1984
[17]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.83-94.
[18]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan
Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 42-44.
[19] h. 23.
[20]
Sebagai perbandingan bisa dilihat kategorisasi yang dibuat oleh Ian G. Barbour,
Religion and Science, (New York:
HarperSanFrancisco, 1990), h.27; begitu juga dalam. When Science Meets Religion, (New York: Harper SanFarancisco,
2000), h.31; yaitu: konflik (conflict),
independensi (Independence), dialog (dialogue), dan integrasi (integration).
[21]
John F. Haught, Science and Religion: In
Search of Cosmic Purpose, (New York:
Paulist Press, 1995), h.11.
[22]
Ibid, h. 13.
[23] Ibid, h. 17. 8 h. 21.
[24] Ibid, h. 22.
[25]
Mehdi Golshani, The
Holy Qur‟an and The Science of Nature, (New York:Global Scholarly
Publication, 2003), h.39.
[26]
W. Mark Wichardson, Gordy Slack, (ads.)., Faith
is Science: Scientists Search for Truth, (New York:Routledge, 2001), h.121.
[27] Mehdi Golshani, From Physics to Metaphysics, (Iran: Institute for Humanities and Cultural
Studies Publication, 1997), h. 5. 28 Ibid, h. 45-46.
[28]
Mehdi Golshani, The Qur‟an and The
Science of Nature (New York: Global Scholarly Publications, 2003), hal.
49.
[29]
Ibid, h.165.
[30]
Richardson, Faith in Science: Scientists,
h. 126. 33 Ibid, h.121.
[31]
Ibid, h.123.
[32]
Ibid,
[33]
Ibid,
[34]
Mehdi Golshani, Issues in Islam and
Science (Tehran: Institute for
Humanities and Cultural Studies (IHCS), 2004), h.125.
[35]
Mehdi Golshani, “Sacred Science vs Islamic Science,” dalam ed. Zainal Abidin
Bagir, Science and Religion in a
Post-colonial Wold (Australia: ATF
Press, 2005), h. 82-87. 47 Mehdi Golshani. Issues in Islam dan Science. 2004. h. 51.
[36] Ibid,
lanjutkan broooo
BalasHapuspost lg doooong
BalasHapus