Hermeneutika

Posted by Unknown on 03.49 with No comments


A. Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”.[1] Maka, kata  benda hermeneuein secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern.[2]Hermeneutika dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione, yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.[3]Istilah hermeneutik mencakup dua hal, yaitu seni dan teori tentang pemahaman dan penafsiran terhadap simbol-simbol baik yang kebahasaan maupun yang non-kebahasaan. Pada awalnya hermeneutik digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra lama dan kitab suci, akan tetapi dengan kemunculan aliran romantisme dan idealisme di Jerman, status hermeneutik berubah. Hermeneutik tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat bantu untuk bidang pengetahuan lain, tetapi menjadi lebih bersifat filosofis yang memungkinkan adanya komunikasi simbolik. Pergeseran status ini diawali oleh pandangan Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Sekarang, hermeneutik tidak lagi hanya berkisar tentang komunikasi simbolik, tetapi bahkan memiliki area kerja yang lebih mendasar, yaitu kehidupan manusia dan keberadaannya.Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan dari pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik ia memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahamam seseorang atas sesuatu bahasa dan latar belakang psikologi pengarang, maka akan semakin lengkap pula interpretasinya terhadap karya pengarang tersebut. Kompetensi linguistik dan kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin, sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur memenuhi kedua persyaratan tersebut.[4]Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap pernyataan. Melalui rekonstruksi objektif-historis, ia bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungannya dengan bahasa sebagai keseluruhan. Melalui rekonstruksi subjektif-historis, ia bermaksud membahas awal mula sebuah pernyataan masuk ke dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri. Jika diterapkan dalam bidang sains, sebagai contoh, untuk memahami teori relativitas Einstein, maka sebaiknya kita juga berusaha mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Einstein tersebut.Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran hermeneutik, yaitu bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami suatu teks pembaca memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut muncul.[5]Wilhelm Dilthey (1833-1911) membedakan ilmu pengetahuan ke dalam Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia.  Perbedaan ini sangat penting karena pada kenyataannya kedua jenis ilmu pengetahuan tersebut mempergunakan metodologi atau pendekatan yang berbeda. Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam menggunakan metode ilmiah yang hasil penemuannya dapat dibuktikan dengan menggunakan metode yang sangat ketat, sedangkan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia atau tentang hidup tidak dapat diterapi dengan metode ilmiah seperti halnya pada Naturwissenschaften karena ilmu-ilmu Geisteswissenschaften berhubungan dengan hidup manusia.[6]Menurut Wilhelm Dilthey, semua ilmu pengetahuan tentang alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang termasuk bidang ini serta semua jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi dan eksperimen termasuk dalam Naturwissenschaften. Sedangkan semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesusastraan dan ilmu-ilmu lain yang sejenis termasuk dalam Geisteswissenschaften.[7]Tujuan akhir dari pendekatan hermeneutik adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahamanm terhadap diri kita sendiri.  Seorang sejarawan yang menuliskan segala peristiwa sejarah, tidak jauh dari zaman di mana ia hidup, tidak akan mempunyai pandangan yang lebih jernih jika dibandingkan dengan sejarawan yang hidup sekian abad sesudahnya. Namun pandangan semacam ini dapat juga dianggap keliru. Sejauh prasangka dan keikutsertaan penulis yang bersifat subjektif dijauhkan, maka ia dapat melihat segala peristiwa dalam kebenarannya yang objektif atau sebagaimana mestinya terjadi. Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan fenomena.[8]Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960), Hans-Georg Gadamer, yang merupakan murid dari Martin Heidegger, membahas mengenai masalah hermeneutik yang dikemukakan oleh Schleiermacher dan Dilthey dengan menggunakan metode yang disajikan oleh Heidegger dalam bukunya Being and Time. Menurut Gadamer, human sciences selalu berusaha mendekati teks dari suatu posisi yang dijaga berjarak dari teks itu sendiri, yang disebut alienation, yang menghapuskan ikatan-ikatan yang sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter dengan objek yang sedang diinterpretasikan. Menurut Gadamer, jarak tersebut dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali (re-fusion) melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the effects of history).[9] 

B.       Pendekatan Hermeneutika
Pendekatan hermeneutik menganggap objek kajian sebagai gejala teks. Fakhruddin faiz mencatat pendefinisian dan perkembangan persepsi terhadap hermeneutik menunjukkan bagaimana kronologi pemahaman manusia terhadap model penafsiran. Sebagai suatu metode penafsiran dapat dikatakan bahwa hermeneutik adalah sebuah kajian yang membahas mengenai bagaimana menggunakan instrumen sejarah, filologi, manuskriptologi dan lain sebagainya sebagai sarana untuk memahami maksud dari suatu objek yang ditafsirkan.Hermeneutik adalah suatu pemahaman terhadap pemahaman yang dilakukan oleh seseorang dengan menelaah proses asumsi-asumsi yang berlaku dalam pemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks-konteks yang melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut. Setidaknya untuk 2 tujuan: Pertama, untuk meletakan hasil pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai, kedua, untuk melakukan suatu reproduksi makna darai pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi.Hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol itu tadi. Berkaitan dengan studi islam, penting kiranya memahami makna dari ekspresi simbol-simbol yang ada guna mengungkap makna sesungguhnya dibalik suatu teks atau nash.Pendekatan hermeneutika juga dapat digunakan dalam studi Islam. Peta hermeneutika menurut Palmer adalah :[10]1.      Sebagai teori penafsiran kitab suci (oleh J.C.Danhauer)2.      Sebagai metode filologi, yang hanya menekankan pada kosa kata atau gramatikal,3.      Sebagai ilmu pemahaman linguistik,sebagai kritik pada metode filologi, dan menawawarkan perpaduan gramatikal dan psikologi (oleh Schleirmacher)4.      Sebagai pondasi metodologiilmu-ilmu kemanusiaan (oleh Wilhelm Dilthey)5.      Sebagai fenomena dassein dan pemahaman eksistensial,6.      Sebagai sistem penafsiran.[11]
Menurut Josef Bleicheer, peta hermeneutika ada tiga, sebagai berikut :[12]1.      Sebagai metodologi,2.      Sebagai filsafat/filosofis3.      Sebagai kritikSebagai metodologi, dan ini menjadi kajian dalam bahasan ini, hermeneutika dapat bersifat subjektif dan objektif.Hermeneutika subjektif, yang dikembangkan Martin Heideger dan Gadamer, dan disebut Verstchen, bahwa sebagai pembaca teks, kita tidak mempunyai akses langsung kepada penulis disebabkan adanya perbedaan waktu, ruang dan tradisi. Maka yang ingin ditemukan disini adalah pengungkapan dessain dalam strategi temporalitas dan hitorisnya. Sementara hermeneutik aliran obyektifitas menegaskan, bahwa interpretasi berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarang.Sedangkan hermenutik aliran obyektifitas dikembangkan oleh tokoh-tokoh klasik, khususnya Friederick Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911).Ada juga ilmuan yang mengelompokan interpretasi atau hermeneutika menjadi :1.      Interpratasi/hermeneutika gramatika bahasa2.      Interpretasi/hermeneutika psiko-historis-sosiologis(ekstra linguistik)3.      Interpretasi/hermeneutika spirit (ideal moral) yakni untuk menemukan konsep dasar/umum/prinsip atau makna universal teks4.      Interpretasi/hermeneutika kontekstual, yakni jawaban terhadap kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral.[13]Dalam konteks penafsiran terhadap al-Quran, Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al-Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran.[14]Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terangterangan baru dilakukan pada tahun tujuh puluhan abad 20.Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al Quran mendapat tanggapan yang beragam dari para ulama dan cendekiawan muslim. Setidaknya ada dua pendapat tentang penggunaan hermeneutika ini dalam penafsiran al-Quran ini.Pertama, hermeneutika tidak bisa digunakan untuk menafsirkan al Quran. Hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup masyarakat penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk hermeneutika , pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh sebagian besar mufassir. Beberapa cendekiawan, seperti Alparslam, Hamid Fahmy, Anis Malik Toha, dan Wan Moh Nor sejalan dengan faham di atas.[15]Kedua, hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Menurut hermeneutika memiliki banyak persamaan dengan ilmu tafsir yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah. Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.[16]















[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, hlm. 23-24.
[2] Ibid., hlm. 24.
[3] Ibid., hlm.  41.
[4] Ibid., hlm. 23.
[5] Ibid., hlm. 46-47.
[6] Ibid., hlm. 47.
[7] Ibid., hlm. 63-64.
[8] Ibid., hlm. 63-64.
[9] Richarkd E.Palmer,”Hermeneutics Interpretation Theory”, dalam Schleiermacher, Diltehey Heidegger and Gadamer(Eanston:Northwestern University Press,1969).

[10] http://yumifaki.blogspot.com/2011/01/pendekatan-hermeneutika.html
[11] Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics as Method,Philosophy and Critique (London : Routledge & Paul Keangen, 1980), hlm.15.
[12] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2010), hlm. 125-126.
[13] Makalah Yayan Nurbayan, Penggunaan Hermenutika dalam Penafsiran al-Quran.
[14] Alparslan Acikgence, Islamic Science,Toward Definition (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 29
[15] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 126.
[16] Abdul Syani,  Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat  (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) hal. 2.